Jumat, 23 Desember 2011

Tak Bayar Sumbangan Insidentil, Siswa SMA Negeri 2 Sidoarjo Haram Ikut UTS


PUNGUTAN SEKOLAH. Para orang tua siswa baru SMA Negeri 2 Sidoarjo gelisah. Pasalnya mereka diminta Komite Sekolah
untuk membayar Sumbangan Insidentil sebesar Rp 1,5 juta. Sebelumnya mereka juga diminta memberikan sumbangan pembelian AC, yang jumlahnya terkumpul sekitar Rp 500 juta.
KENDATI pungutan uang gedung pada siswa baru sudah diharamkan Pemerintah Indonesia sejak tahun 2010, bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merestui para aparat penegak hukum untuk melakukan proses hukum terhadap sekolah-sekolah yang menerapkan pungutan uang gedung.
Ironisnya larangan tersebut dilanggar oleh mayoritas SMA Negeri di Kab. Sidoarjo. Mereka nekat menyelenggaraan pungutan uang gedung. Namun istilah pungutan uang gedung tersebut dan teknik pelaksanaannya diubah. Strategi ini untuk mengaburkan pungutan “haram” tersebut dari endusan aparat hukum dan pengawas sekolah yang dilakukan Kementrian Pendidikan Nasional, Kementrian Dalam Negeri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Dinas Pendidikan (Dindik) Provinsi Jawa Timur, dan Dinas Pendidikan (Dindik) Kab. Sidoarjo.
Salah satu sekolah yang melakukan pungutan uang gedung tersebut, adalah Sekolah Menegah Atas Negeri (SMAN) 2 Sidoarjo. Jumlah uang pungutan tersebut sebesar Rp 1,5 juta per siswa baru. Untuk mengelabuhi aparat hukum dan pengawas pendidikan nasional dari pusat dan daerah, maka nama pungutan di sekolah yang dipimpin Drs. H. Sulaiman Suwarto M.Pd itu disebut ”sumbangan insidentil”.
Teknik penyelenggaraan sumbangan insidentil itu dikemas sebagai hasil karya pertemuan antara para orang tua siswa baru dengan Komite SMAN 2 Sidoarjo, awal Agustus silam. Pertemuan yang diikuti mayoritas orang tua siswa baru itu direkayasa untuk sepakat memutuskan Rp 1,5 juta sebagai nilai uang sumbangan insidentil tersebut. Dengan jumlah siswa baru sekitar 388 pelajar, maka jumlah sumbangan insidentil (uang gedung) yang akan masuk sebesar Rp 582.000.000,00.
”Nilai sumbangan insidentil itu sangat tinggi dan memberatkan kami. Namun kami tak bisa berbuat banyak. Kami takut anak kami akan menjadi korban manajemen sekolah jika kami menolak dan melakukan protes,” kata salah satu orang tua siswa baru SMAN 2 Sidoarjo sembari wanti-wanti agar namanya tidak dikorankan.
Tak dipungkiri pria parobaya itu, bahwa dia sempat curiga terhadap status sumbangan insidentil tersebut. Pasalnya standarisasi pemanfaatan sumbangan tersebut hampir sama dengan pemanfaatan dana yang didapat SMAN 2 Sidoarjo dari BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan anggaran pendidikan dari APBD Kab. Sidoarjo. Sumbangan insidentil itu peruntukannya untuk pembanguan sekolah, yang selama ini sudah mendapat alokasi anggaran sebesar Rp 596,144 miliar dari APBD Pemkab Sidoarjo tahun 2011.
DANA APBD

MENGUNGKAP. Wabup H. MG Hadi Sutjipto meminta Kadindik Ir. Agoes Boedi Tjahjono, MT mengungkap dan menindak dalang penyelenggaraan sumbangan insidentil dan pembelian AC di SMA Negeri 2 Sidoarjo.
Sedangkan pembangunan gedung SMA Negeri 2 Sidoarjo, menurut Sekdakab Sidoarjo Vino Rudy Muntiawan, sebesar Rp. 11.292.625.000. Dana pembangunannya termasuk dalam salah satu dari sembilan proyek yang dibangun dengan menggunakan dana APBD Sidoarjo 2007 hingga 2010  sebesar Rp. 46.070.470.329.
Sembilan proyek pembangunan itu diantaranya pembangunan kantor Perpustakaan dan Arsip, Puskesmas Sukodono, gedung SMPN 2 Sidoarjo, gedung SMAN 2 Sidoarjo, aula SMPN 1 Sidoarjo, kantor Kecamatan Taman, Pasar Kedung Rejo Kecamatan Waru, Jembatan Bangsri Plumbungan dan Jembatan Simpang Enam Dungus Kecamatan Sukodono.
Karena itu, dia sangat kaget saat mengetahui, bahwa Komite SMA Negeri 2 Sidoarjo meminta para orang tua siswa baru periode 2011-2012 untuk memberikan sumbangan insidentil sebesar Rp 1,5 juta, yang salah satu alokasi sumbangan itu untuk pembangunan sekolah.
Selama ini pembangunan semua sekolah negeri di Kab. Sidoarjo diselesaikan lewat alokasi anggaran APBD. Karena itu, merupakan sebuah bentuk pelanggaran jika SMA Negeri 2 masih meminta sumbangan insidentil lagi pada para orang tua siswa baru,” katanya saat dihubungi, Rabu (5/10).
Sikap keras juga ditunjukkan oleh Wakil Bupati H. Hadi Sutjipto saat mendengar adanya pungutan sumbangan insidentil yang dilakukan oleh Komite SMA Negeri 2 Sidoarjo. Menurut mantan Kepala Dinas Pendidikan (Dindik) Kab. Sidoarjo ini, semua sekolah negeri yang ada di wilayah kerja Kab. Sidoarjo diharamkan melakukan pungutan terhadap siswa baru. Pasalnya selama ini semua kebutuhan proses belajar mengajar yang berlangsung sudah dipenuhi Pemkab lewat alokasi dana dari APBD.
Tidak hanya adanya sumbangan insidentil saja yang didengar Wabup terjadi di SMA Negeri 2 Sidoarjo. Pria yang juga Ketua Takmir Masjid Agung Sidoarjo itu, juga mendengan adanya permintaan sumbangan pada orang tua siswa, dengan peruntukan untuk pembelian AC (Air conditioning) kelas. Jumlah yang terkumpul sekitar Rp 500 juta, tapi saat uang sumbangan yang terkumpul itu hingga saat ini tidak dibelikan AC.
Karena itu, dia meminta Kepala Dindik Kab. Sidoarjo, Ir. Agoes Boedi Tjahjono, MT., untuk segera menyelesaikan rumour tentang adanya pungutan sumbangan insidentil dan sumbangan pembelian AC yang dilakukan Komite SMA Negeri 2 Sidoarjo. Sebab penyelenggaraan sumbangan itu merupakan bentuk pelanggaran serius, yang harus mendapatkan sanksi administrasi atau sanksi lain yang lebih berat. Apalagi soal pembayaran sumabangan insidentil itu dikaitkan dengan hak para siswa untuk mengikuti UTS (Ujian Tengah Semester).
”Saya minta uang sumbangan pembelian AC atau sumbangan insidentil yang sudah masuk hendaknya dikembalikan pada orang tua para siswa baru. Selain itu, Dindik harus mengungkap dalang penyelenggaraan sumbangan tersebut untuk diganjar sanksi, sehingga tidak terulang di tahun-tahun akan dating,” katanya saat dihubungi di ruang dinasnya.
TINDAKAN HUKUM
Sedangkan Wakil Ketua KPK (Komisi pemberantasan Korupsi), M Jasin menilai, bentuk sumbangan apapun yang diselenggarakan oleh sekolah-sekolah negeri terhadap orang tua siswa merubakan bentuk pungutan liar. Praktek itu termasuk bagian dari tindak pidana korupsi.
Dia menjelaskan, berdasarkan aturan Pasal 12 c Undang-Undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), perbuatan pungutan liar yang dilakukan oknum kepala sekolah dan guru, dapat dikategorikan sebagai gratifikasi.
“Gratifikasi itu tidak hanya penyelenggara negara tetapi pegawai negeri juga, besar atau kecilnya pungutan. Namun kalau pegawai negeri terima uang di luar gaji yang berhubungan dengan pekerjaannya adalah suap dan korupsi,” kata Yasin.
Setiap sekolah, terutama yang berstatus negeri, menurut dia, sudah mendapatkan dana BOS (Dana Bantuan Operasional) sekolah untuk kegiatan belajar dan mengajar. Sehingga kalau terjadi praktik pungutan liar dengan alasan untuk kegiatan operasional sekolah yang tidak dicukupi oleh dana BOS, besar kemungkinan si oknum yang melakukan pungutan liar, telah menyelewengkan dana BOS itu sendiri.
“Oknum kepala sekolah dan guru yang melakukan pungutan liar diduga menyelewengkan dana BOS. Karena itu, jerat hukum sebagai koruptor layak dilakukan,” ujarnya.
Demikian pula sikap yang ditunjukkan Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal saat dihubungi. Menurut dia, guru atau kepala sekolah yang melakukan pungutan bisa dikenai sanksi administratif, antara lain, dicabut dari jabatan dan dipecat status pegawai negeri sipil (PNS) dengan tidak hormat.
Sikap kerasnya itu, karena data Kementerian Pendidikan Nasional menunjukkan, pada tahun 2011 jumlah siswa yang harus dibiayai pemerintah sebanyak 44,29 juta orang, sehingga total pagu indikatif anggaran BOS yang disediakan mencapai Rp 19,858 triliun. Adapun tahun 2012 diperkirakan ada kenaikan jumlah siswa yang menjadi dasar perhitungan BOS, yakni jadi 44,712 juta orang. Dengan rencana kenaikan sekitar 39,35 persen, anggaran BOS yang diusulkan Kementerian Pendidikan Nasional meningkat menjadi Rp 27,673 triliun pada 2012.
Menurut Fasli, struktur biaya pendidikan memiliki tiga komponen, yakni pertama biaya pengelolaan pendidikan. Kedua, biaya di satuan pendidikan. Ketiga, biaya pribadi peserta didik. Selama ini, BOS hanya menutup dua komponen biaya, yakni biaya pengelolaan pendidikan dan biaya di satuan pendidikan. Karena itu, semua bentuk sumbangan apa pun untuk kepentingan sekolah termasuk pungutan liar, sehingga para pelakunya harus mendapat tindakan keras yaitu berupa sanksi hukum sesuai kapasitasnya dalam praktik pungutan liar tersebut.








1 komentar:

  1. kelinci99
    Togel Online Terpercaya Dan Games Laiinnya Live Casino.
    HOT PROMO NEW MEMBER FREECHIPS 5ribu !!
    NEXT DEPOSIT 50ribu FREECHIPS 5RB !!
    Ada Bagi2 Freechips Untuk New Member + Bonus Depositnya Loh ,
    Yuk Daftarkan Sekarang Mumpung Ada Freechips Setiap Harinya
    segera daftar dan bermain ya selain Togel ad juga Games Online Betting lain nya ,
    yang bisa di mainkan dgn 1 userid saja .
    yukk daftar di www.kelinci99.casino

    BalasHapus