Jumat, 23 Desember 2011

Bidadari Ku Anisa


Sedikit, Namun Mendalam
Judul Buku           : Bidadariku Anisa
          Pengarang             : Indah El Hafidz alias Indah Hartini
          Penerbit                : Gema Insani Press
          Tempat Terbit        : Jakarta
          Cetakan                : I, Maret 2011
          Kategori                : Fiksi
          Tebal Buku            : 78 halaman

Kumpulan cerpen berjudul Bidadariku Anisa ini dibuat oleh gadis cantik yang bernama Indah Hartini atau yang memiliki nama pena Indah El Hafidz. Ia merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Subur Haryono dan Darti. Gadis ini lahir di kota Ngawi, 05 Oktober 1990.
Buku ini merupakan karya pertamanya yang dibukukan dan dipublikasikan ke masyarakat luas.  Dalam buku ini, penulis menceritakan tujuh buah kisah berbeda yang  masing-masing kisahnya dapat menyentuh hati sang pembaca.
“Sedikit, namun mendalam” adalah kalimat yang tepat untuk menggambarkan setiap untaian kisah yang penulis ceritakan dalam buku ini. Salah  satu contohnya terdapat pada cerpen berjudul “Bidadariku Anisa”. Kisah seorang gadis kecil yang bernama Nisa yang terlahir dengan kaki kirinya yang cacat. Dia selalu dihina dan direndahkan oleh teman-teman sebayanya, kerabatnya, bahkan ibu kandungnya sekalipun. Akan tetapi, Nisa tak sekalipun mengeluh dan membalas setiap perlakuan kasar yan ia terima. Bahkan, ia selalu bercerita kepada ayahnya bahwa ia selalu disayang oleh bundanya yang sejatinya selalu membentak dan memaki-makinya. Akan tetapi, disetiap kekurangan ada kelebihan. Begitupula dengan Nisa. Nisa yang berkaki kiri cacat ternyata memiliki suara yang sangat indah. Hal ini dibuktikan ketika Nisa mampu meraih juara 1 dalam lomba membaca Al-Qur’an.
Indah El Hafidz menyampaikan cerpen “Bidadariku Anisa” ini dengan bahasa yang sederhana dan sopan. Tidak rumit sehingga pembaca mudah memahami alur ceritanya. Bahkan, dari satu kalimat ke kalimat yang lain pun sangat singkat dalam menggambarkan peristiwa atau kejadian  yang terjadi dalam cerita tersebut. Namun, bagi kami hal tersebut sudah cukup membuat hati kami tersentuh dan ikut merasakan apa yang dirasakan sang tokoh cerita, Nisa.
Gaya bahasa yang sederhana ini juga penulis gunakan dalam cerpen yang berjudul “Sebait Doa”. Cerpen ini menceritakan kisah seorang wanita bernama Zaskia yang sedang mengandung. Dia sangat gembira dan ingin segera bertemu serta memberitahukan suaminya, Adit, atas kabar gembira tersebut. Ya. Kabar gembira atas kehamilan yang telah mereka nanti-nantikan selama lima tahun pernikahan. Saat Zaskia dalam perjalanan pulang, ia terhimpit oleh kemacetan yang disebabkan oleh kecelakaan sepeda motor. Padahal, Zaskia ingin segera sampai di rumahnya.
Ketika sampai di rumah, Zaskia menyiapkan makanan kesukaan suaminya dengan senang hati sambil menunggu sang suami tercinta pulang dari kantor. Akan tetapi, tiba-tiba datang dua orang polisi. Seketika itu perasaan gembiranya berganti menjadi perasaan sedih yang menyayat hati. Sebab, kedua polisi tersebut mengatakan bahwa suaminya mengalami kecelakaan sepeda motor dan meninggal di tempat kejadian. Zaskia menyesal. Mengapa ia tidak berada disamping suaminya ketika ia sedang mengalami kecelakaan. Bahkan, dia belum sempat menyampaikan berita gembira kepada suaminya atas kehamilannya. Sang suami telah dipanggil menghadap Sang Khaliq.
Kesedihan yang dirasakan Zaskia digambarkan dengan singkat. Namun, tergambar dengan jelas bagaimana perasaan Zaskia seperti kutipan berikut: “Dengan hati hancur berkeping-keping aku memasuki ruang jenazah tersebut. Sesosok jenazah tak bernyawa terbujur lemah di depanku, dia adalah Mas Aditku tersayang.”
Cerpen berikut yang berjudul “Untuk Ibu” berbeda dengan cerita sebelumnya. Cerpen ini bercerita tentang seorang gadis lulusan SMA yang bernama Dinda. Dia menikah menikah dengan seorang dokter yang bernama Wisnu. Karena perbedaan pendidikan itulah, ibu Wisnu kurang menyetujui pernikahan mereka. Setiap kali bertemu dengan Dinda, ibu Wisnu selalu merendahkan dan menghina Dinda. Namun, Wisnu tetap mencintai istrinya dengan sepenuh hati. Meskipun istrinya dicemooh dan dihina ibunya sendiri, tetapi Wisnu tetap membela dan membesarkan hati Dinda.
Suatu hari, ibu Wisnu terkena penyakit stroke. Tak seorang pun yang bisa merawat ibu Wisnu karena kakak Wisnu, Gufron, dan istrinya, Rina, sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Akhirnya, diputuskan bahwa Dinda yang akan merawat beliau. Dinda tidak merasa keberatan karena Wisnu juga selalu berbuat baik kepada kedua orangtua Dinda. Sehingga, Dinda pun tidak merasa keberatan untuk berbuat baik kepada ibu mertuanya.
Ibu Wisnu tidak kunjung sembuh. Sampai suatu hari, anak kandung Dinda, Aira, terus menerus menangis. Padahal, sehari-harinya Aira selalu tampak ceria. Namun, semuanya menjadi jelas ketika Aira memeluk ibu Wisnu yang tengah berbaring di ranjang. Dinda melihat mertuanya diam tak bergeming meskipun ia telah memanggil-manggil mertuanya. Ibu Wisnu akhirnya meninggal dalam keadaan khusnul khotimah.
Ketiga cerita di atas memiliki kesamaan seperti yang kami sebutkan tadi, yaitu gaya bahasa yang digunakan penulis adalah gaya bahasa yang sederhana dan sopan. Meskipun gaya bahasa yang digunakan penulis sederhana, akan tetapi pembaca ikut tersentuh hatinya kala membaca cerpen tersebut. Sebab, banyak sekali pesan dan amanat dari penulis yang sangat bermakna.
Selain itu, alur cerita keduanya juga tidak rumit sehingga seluruh kalangan, baik kalangan awam maupun kalangan professional dapat membaca buku ini tanpa merasa kebingungan dengan jalan ceritanya.
Sayangnya, cerita dalam buku kumpulan cerpen ini terlalu singkat. Hampir disetiap ceritanya hanya berisi antara tujuh sampai sepuluh halaman saja. Setiap kali membaca cerita satu ke cerita yang lain, kami dibuat penasaran dan merasa kurang puas. Sebab, cerpen-cerpen dalam buku ini ceritanya terlalu singkat. Menurut kami, cerita dalam cerpen ini perlu dibuat lebih rumit dengan cara menambahkan tokoh ceritanya atau menambahkan kejadian yang terjadi dalam cerita tersebut. Sehingga, jalan ceritanya menjadi lebih luas.
Buku yang kami resensikan di atas ini berbeda dengan buku kumpulan cerpen yang berjudul “Bocah-bocah Galaksi”. Sang penulis, Dewi Rieka Kustiantari, menceritakan tiga anak cerdas yang ingin mendirikan klub astronomi di sekolah. Berawal dari seorang bocah yang bernama Julian Nugraha. Julian Nugraha ialah seorang anak laki-laki yang memiliki rambut “kribo”  dan baru pindah dari daerah asalnya. Ia seorang anak yang cerdas, aktif dan sangat suka sekali dengan sepak bola. Cita-citanya ialah menjadi pemain Timnas Indonesia 2017.
Suatu hari tiba waktunya ia sekolah di sekolah barunya. Di sekolahnya yang baru, ia dihadang dan diganggu oleh sekelompok anak nakal. Ketua kelompok itu bernama Bumi Wisesa. Ia adalah ketua kelas yang sangat nakal. Akibat ulah dan perkataan bohong dari Bumi, Julian di jauhi oleh teman-temannya sehingga Julian merasa kesepian.
Suatu hari, Julian memiliki ide untuk mencari teman melalui Balon persahabatan yang di dalamnya berisi surat dari Julian. Ia berharap yang menemukan surat itu seorang laki-laki yang sangat suka bermain bola sehingga ia dapat bermain bola bersama.
Keesokan harinya surat itu di balas oleh seorang anak perempuan yang bernama Juni Destiayana. Ia adalah orang yang menemukan surat yang diterbangkan oleh Julian melalui balon udara dan menyambut perkenalannya. Juni adalah anak yang sangat menyukai ilmu astronomi dan ia sama sekali tak menyukai bola. Ia memiliki cita-cita untuk menjadi seorang astronom. 
Namun tak disangka. Julian menolak uluran persahabatan dari Juni karena Ia malas berteman dengan anak perempuan. Bagi nya, anak perempuan adalah anak yang suka menangis, judes, dan menyebalkan. Tetapi, Juni tidak menyerah. Dia berusaha untuk membujuk Julian menjadi temannya dan ikut lomba astronomi dengan berbagai cara. Sayangnya, saat mendekati hari lomba, Juni sakit dan tidak bisa ikut lomba. Juni menangis dan menyuruh Julian untuk tetap mengikuti lomba. Julian pun kebingungan, karena tim lomba harus terdiri dari dua orang.
Juni pun mengusulkan Bumi untuk menjadi anggota tim penggantinya. Ia berharap Julian dan Bumi untuk bersatu untuk memenangkan lomba Astronomi. Akhirnya Julian dan Bumi dapat memenangkan lomba. 
Keesokan harinya, Julian, Bumi, dan Juni membawa piala dan penghargaan lomba ke bapak Kepala Sekolah. Selain itu mereka mengharap agar bapak Kepala Sekolah untuk mengizinkan mereka untuk mendirikan klub Astronomi. Namun harapan itu tidak dapat terwujud. Bapak Kepala Sekolah menolak rencana itu karena terkendala biaya.
Juni pun sangat sedih dan menangis akibat mendengar pernyataan dari bapak Kepala Sekolah. Julian dan Bumi yang melihat itu, langsung berusaha untuk membuat hati Juni senang kembali.
Julian dan Bumi berusaha untuk membangun klub Astronomi itu dengan semampunya. Dan akhirnya, klub astronomi itu dapat berdiri. Anggotanya pun berawal berjumlah 11 orang dan pada akhirnya hampir semua anak satu sekolah bergabung pada klub astronomi itu.
Akhirnya Julian berteman dengan Bumi sehingga ia tidak merasakan kesepian kembali. Sedangkan Juni dapat mewujudkan impiannya untuk mendirikan klub astronomi.
Dari cerpen di atas, gaya bahasa yang digunakan penulis lebih gaul seperti dalam kutipan berikut: “Ampun, deh ! Bumi yang bandelnya minta ampun itu, ternyata takut pada Juni! Ah, Juni. Kamu memang juara sejati ! haha... “. Buku ini cocok untuk kalangan remaja karena bahasa yang digunakan adalah bahasa gaul. Selain itu, buku ini juga menampilkan beberapa gambar untuk mengilustrasikan beberapa kejadian dalam cerpen tersebut. Dengan adanya gambar, pembaca menjadi tidak bosan untuk membaca cerpen tersebut dan mudah untuk memahami setiap alur ceritanya








Tidak ada komentar:

Posting Komentar